Wednesday, February 10, 2010

Jam 3 pagi..

Gelap pekat ruang mengikat jalan darahku
Pucat, aku berjalan dengan tangan terentang mencari arah. Udara berat menggantung di auraku nyaris meledakkan paru-paru mungilku.

Disudut kecil terlihat percik oranye. Asap mengakar ke udara menyebarkan harum halus yang menenangkan syaraf. Efeknya seperti opium, menarik imajiku ke arah dimensi baru yang berwarna. Dimensi yang berkelip dengan dengan segala keindahan yang menyimpan bahaya.

Tergoda aku berjalan dan mendekat perlahan. Kornea yang tersentuh sensasi asing menyipit, mencoba menelaah serangan percik oranye yang makin lama membersar perlahan.

Tak terasa letih pupil yang membesar kagum.
Aku berjongkok menunggu sesuatu. Sesuatu yang masih abstrak.
Terlalu abstrak sehingga aku takut menebak arahnya. Tapi kuberanikan diri mendekatkan jemari untuk menyentuhnya.

Jariku terdiam disana. Terbakar percik oranye yang mulai membesar, aku menjadi seorang masochist yang menikmati perih yang terasa di ikatan syarafku.
Aku menyerahkan diri untuk perlahan dilahap oleh siluet jingga yang menguat.

Tanpa kusadari aku menari didalam cahaya jingga. dalam trance yang statik aku menggerakkan seluruh badanku. Aku tersenyum, tertawa. Aku bergerak mendayu seperti daun yang berdansa dengan angin. Berputar. Melayang. Aku bagai pebalet cilik yang tersihir oleh tutu dan sepatu balet barunya.

Tanpa sebab kilat jingga itu berubah. Perlahan mengecil dan meredup.
"Tidak!", pikirku. "Bakar aku lagi. Aku belum puas dengan sengatan ini!"
Perlahan aku terdorong keluar dari selimut jingga disekujur tubuhku.
Dimuntahkan dengan perlahan, aku terdiam bisu disamping cercah sinar yang sekarang samar.
Aku meraih sinar kecil itu, kalap. "Itu sumber udaraku!"

Cercah sinar itu tak menunggu.
Perlahan dia melemah menjadi letupan kecil yang hanya ada dipermukaan.
Aku meratap sedih tanpa airmata dan segukan. Berusaha melindungi letupan yang tersisa agar dia bisa membesar kembali.

Gelap pekat ruang mengikat syarafku.
Memucat, aku berjongkok memeluk lututku. Tatapku menerawang ke lantai tempat letupan terakhir meletus.
Diam; aku menunggu percikan selanjutnya.

No comments:

Post a Comment