Thursday, February 11, 2010

Changi 12 februari 2010

Menatap notebook ku, aku menanti terbukanya gerbang D36
berharap perjalanan ini bisa menjadi perjalanan yang tanpa guncangan
berharap perjalanan ini bisa menjadi infus bagi nyawaku yang hampir terputus

Tempat yg akan kudatangi adalah yang kusebut rumah
Seluruh sel dalam tubuh dan mentalku tumbuh disana
Aromanya setiap sudutnya akan selalu tersangkut hidungku
Takaran suhunya akan selalu menjadi selimut yang paling nyaman untukku

Apa yang akan aku temukan disana akan menarik
Menantang sampai dimana aku bisa lentur memainkan emosi
Tapi saat ini aku hanya bisa meraba dan mengira2
Tak ada yg pasti di ruang celebralku

Kusut aku mencoba menguraikan pikiran
Bunyi ketik2 keyboard laptopku tidak membantu
Pengumuman untuk boarding bergema dalam bahasa asing yg familiar dikupingku
Waktunya terbang..

Saat ini

Saat ini kehidupan menyeretku dengan paksa
Aku berlari tanpa bergerak dari tempatku berdiri
Terantuk-antuk kepalaku, terhantam segala rupa
Tersendat nafasku berusaha menangkap udara

Ku temukan diriku berdiri d tengah sahara,
Kemudian di ramainya Colosseum Roma.
Tetiba aku di jalanan London yg sepi dan berkabut
Selangkah aku tertunduk diantara sekawanan pinguin raja

Ketika matahari di atas kepala aku berada diantara penonton Nascar
berteriak keras dan ikut melambai dengan tempo teratur
Ketika matahari di kiri aku ditengah premier film independen
berusaha menangkap makna dalam kata-kata asing yang menghujam telinga

Aku bagaikan Einstein yang menemukan teori relativitas
Sedetik kemudian aku bagaikan amoeba
Aku ada
kemudian aku tiada

Terjaga aku setengah membuka mata
Menyeret lagi diriku ke Jakartaku yang penuh polusi
Membaringkan diriku ke ranjangku yang tak berseprai
Menghirup kembali aroma kamarku yang mengakar di ingatan

Segalanya kembali tenang
Segalanya kembali statis
Segalanya kembali abu-abu

Wednesday, February 10, 2010

4.49

aku terbangun..
percik oranye itu tidak akan berpijar lagi..
sebagian jiwaku hangus bersama percik terakhirnya..
Sekali lagi aku menangis. Kali ini dengan segukan.
Tertumpah segala nafas yg ada dalam diafragma ku. Tak bersisa.

Akalku melayang mencoba untuk menggapai suatu pencerahan.
Melihat kebelakang smua gelap. Aku tidak melihat dimana aku salah berbelok.
Mungkin terlalu jauh aku salah menjejakkan kaki.
Mungkin dari awal perjalanan harusnya aku tidak berpijak di jalan ini.

Dengan alibi, aku mencoba membelokkan alur ku..
Aku hanya terseret. Aku korban.
Kepalaku terantuk lantai yang keras.
Percik itu sudah menghilang.
Semua kembali statis.
Semua kembali abu2.

Jam 3 pagi..

Gelap pekat ruang mengikat jalan darahku
Pucat, aku berjalan dengan tangan terentang mencari arah. Udara berat menggantung di auraku nyaris meledakkan paru-paru mungilku.

Disudut kecil terlihat percik oranye. Asap mengakar ke udara menyebarkan harum halus yang menenangkan syaraf. Efeknya seperti opium, menarik imajiku ke arah dimensi baru yang berwarna. Dimensi yang berkelip dengan dengan segala keindahan yang menyimpan bahaya.

Tergoda aku berjalan dan mendekat perlahan. Kornea yang tersentuh sensasi asing menyipit, mencoba menelaah serangan percik oranye yang makin lama membersar perlahan.

Tak terasa letih pupil yang membesar kagum.
Aku berjongkok menunggu sesuatu. Sesuatu yang masih abstrak.
Terlalu abstrak sehingga aku takut menebak arahnya. Tapi kuberanikan diri mendekatkan jemari untuk menyentuhnya.

Jariku terdiam disana. Terbakar percik oranye yang mulai membesar, aku menjadi seorang masochist yang menikmati perih yang terasa di ikatan syarafku.
Aku menyerahkan diri untuk perlahan dilahap oleh siluet jingga yang menguat.

Tanpa kusadari aku menari didalam cahaya jingga. dalam trance yang statik aku menggerakkan seluruh badanku. Aku tersenyum, tertawa. Aku bergerak mendayu seperti daun yang berdansa dengan angin. Berputar. Melayang. Aku bagai pebalet cilik yang tersihir oleh tutu dan sepatu balet barunya.

Tanpa sebab kilat jingga itu berubah. Perlahan mengecil dan meredup.
"Tidak!", pikirku. "Bakar aku lagi. Aku belum puas dengan sengatan ini!"
Perlahan aku terdorong keluar dari selimut jingga disekujur tubuhku.
Dimuntahkan dengan perlahan, aku terdiam bisu disamping cercah sinar yang sekarang samar.
Aku meraih sinar kecil itu, kalap. "Itu sumber udaraku!"

Cercah sinar itu tak menunggu.
Perlahan dia melemah menjadi letupan kecil yang hanya ada dipermukaan.
Aku meratap sedih tanpa airmata dan segukan. Berusaha melindungi letupan yang tersisa agar dia bisa membesar kembali.

Gelap pekat ruang mengikat syarafku.
Memucat, aku berjongkok memeluk lututku. Tatapku menerawang ke lantai tempat letupan terakhir meletus.
Diam; aku menunggu percikan selanjutnya.

I don't need this crap..

bad night..
bad.. bad.. night..

Monday, February 1, 2010

Shattering glass sound effect..

Yesterday I was trying to clean up my room bit by bit.
It was going fine until I heard a noise..
*Pyaaanggg*

Shattering glass..

Damn it..
Now I have more mess to take care off..

Well.. I started to sweep again..
and then..
*Pyaaangg*

Another shattering glass..

At this rate I can't take it.
I just sit and hug my knee.

I just can't take it..